Jumat, 13 Desember 2013

Untuk Sahabat



Ketika dunia terang, alangkah semakin indah jikalau ada sahabat disisi. Kala langit mendung, begitu tenangnya jika ada sahabat menemani. Saat semua terasa sepi, begitu senangnya jika ada sahabat disampingku. Sahabat. Sahabat. Dan sahabat. Ya, itulah kira-kira sedikit tentang diriku yang begitu merindukan kehadiran seorang sahabat. Aku memang seorang yang sangat fanatik pada persahabatan. 
Namun, sekian lama pengembaraanku mencari sahabat, tak jua ia kutemukan. Sampai sekarang, saat ku telah hampir lulus dari sekolahku. Sekolah berasrama, kupikir itu akan memudahkanku mencari sahabat. Tapi kenyataan dengan harapanku tak sejalan. Beragam orang disini belum juga bisa kujadikan sahabat. Tiga tahun berlalu, yang kudapat hanya kekecewaan dalam menjalin sebuah persahabatan. Memang tak ada yang abadi di dunia ini. Tapi paling tidak, kuharap dalam tiga tahun yang kuhabiskan di sekolahku ini, aku mendapatkan sahabat. Nyatanya, orang yang kuanggap sahabat, justru meninggalkanku kala ku membutuhkannya. “May, nelpon yuk. Wartel buka tuh,” ujar seorang teman yang hampir kuanggap sahabat, Riea pada ‘sahabat’ku yang lain saat kami di perpustakaan. “Yuk, yuk, yuk!” balas Maya, ‘sahabatku’. Tanpa mengajakku Kugaris bawahi, dia tak mengajakku. Langsung pergi dengan tanpa ada basa-basi sedikitpun. Padahal hari-hari kami di asrama sering dihabiskan bersama. Huh, apalagi yang bisa kulakukan. Aku melangkah keluar dari perpustakaan dengan menahan tangis begitu dasyat. Aku begitu lelah menghadapi kesendirianku yang tak kunjung membaik. Aku selalu merasa tak punya teman. “Vy, gue numpang ya, ke kasur lo,” ujarku pada seorang yang lagi-lagi kuanggap sahabat. Silvy membiarkanku berbaring di kasurnya. 

Aku menutup wajahku dengan bantal. Tangis yang selama ini kutahan akhirnya pecah juga. Tak lagi terbendung. Sesak di dadaku tak lagi tertahan. Mengapa mereka tak juga sadar aku butuh teman. Aku takut merasa sendiri. Sendiri dalam sepi begitu mengerikan. Apa kurangku sehingga orang yang kuanggap sahabat selalu pergi meninggalkanku. Aku tak bisa mengerti semua ini. Begitu banyak pengorbanan yang kulakukan untuk sahabat-sahabatku, tapi lagi-lagi mereka ‘menjauhiku’. “Faiy, lo kenapa sih ? kok nangis tiba-tiba,” tanya Silvy padaku begitu aku menyelesaikan tangisku. “Ngga papa, Vy,” aku mencoba tersenyum. Senyuman yang sungguh lirih jika kumaknai. “Faiy, tau nggak ? tadi gue ketemu loh sama dia,” ujar Silvy malu-malu. Dia pasti ingin bercerita tentang lelaki yang dia sukai. Aku tak begitu berharap banyak padanya untuk menjadi sahabatku. Kurasa semua sama. Tak ada yang setia. Kadang aku merasa hanya dimanfaatkan oleh ‘sahabat-sahabatku’ itu. Kala dibutuhkan, aku didekati. Begitu masalah mereka selesai, aku dicampakkan kembali. “Faiy, kenapa ya, Lara malah jadi jauh sama gue. Padahal gue deket banget sama dia. Dia yamg dulu paling ngerti gue. Sahabat gue,” Silvy curhat padaku tentang Lara yang begitu dekat dengannya, dulu. Sekarang ia lebih sering cerita padaku. Entah mengapa mereka jadi menjauh begitu. “Yah, Vy. Jangan merasa sendirian gitu dong,” balasku tersenyum. Aku menerawang,” Kalau lo sadar, Vy, Allah kan selalu bersama kita. Kita ngga pernah sendirian. Dia selalu menemani kita. Kalau kita masih merasa sendiri juga, berarti jelas kita ngga ingat Dia,” kata-kata itu begitu saja mengalir dari bibirku. Sesaat aku tersadar. Kata-kata itu juga tepat untukku. Oh, Allah, maafkanku selama ini melupakanmu. Padahal Dia selalu bersamaku. Tetapi aku masih sering merasa sendiri. Sedangkan Allah setia bersama kita sepanjang waktu. Bodohnya aku. Aku ngga pernah hidup sendiri. Ada Allah yang selalu menemaniku. Dan seharusnya aku sadar, dua malaikat bahkan selalu di sisiku. Tak pernah absen menjagaku. Kenapa selama ini aku tak menyadarinya? Dia akan selalu mendengarkan ‘curhatanku’. Dijamin aman. Malah mendapat solusi. Silvy tiba-tiba memelukku. “Sorry banget, Faiy. Seharusnya gue sadar. Selama ini tuh lo yang selalu nemenin gue, dengerin curhatan gue, ngga pernah bete sama gue. Dan lo bisa ngingetin gue ke Dia. Lo shabat gue. Kenapa gue baru sadar sekarang, saat kita sebentar lagi berpisah…” Silvy tak kuasa menahan tangisnya. Aku merasakan kehampaan sejenak. Air mataku juga ikut meledak. Akhirnya, setelah aku sadar bahwa aku ngga pernah sendiri dan ingat lagi padaNya, tak perlu aku yang mengatakan ‘ingin menjadi sahabat’ pada seseorang. Bahkan malah orang lain yang membutuhkan kita sebagai sahabatnya. Aku melepaskan pelukan kami. “ Makasih ya, Vy. Ngga papa koki kita pisah. Emang kalau pisah, persahabatan bakal putus. Kalau putus, itu bukan persahabatan,” kataku tersenyum. Menyeka sisa-sisa air mataku. Kami tersenyum bersama. Persahabatan yang indah, semoga persahabatan kami diridoi Allah. Sahabat itu, terkadang tak perlu kita cari. Dia yang akan menghampiri kita dengan sendirinya. Kita hanya perlu berbuat baik pada siapapun. Dan yang terpenting, jangan sampai kita melupakan Allah. Jangan merasa sepi. La takhof, wala tahzan, innallaha ma’ana..Dia tak pernah meninggalkan kita. Maka jangan pula tinggalkannya.

Rabu, 04 Desember 2013

Mujair dan Ular Merah



Di sebuah hutan, terdapat rawa yang dihuni oleh beberapa jenis ikan. Di antaranya adalah sekelompok ikan mujair yang hidupnya sangat tenteram dan bahagia. Namun ketenangan mereka terganggu sejak seekor ular merah, atau si Merah sering mencari mangsa di tepi sungai. Ular selalu memakan apa pun yang dapat ia makan, termasuk ikan mujair yang hidup di sungai.
Suatu hari ular sedang berjalan dengan perut lapar. Kebetulan semalam hujan turun dengan deras,

Kamis, 14 November 2013

Derita Bocah Pinggiran



Awalnya itu hanya rutinitas kami , disekitar Kotalama (rel kereta) pada saat kami berangkat / pulang sekolah . Kami sering melihat anak anak di bawah umur yang sedang melakukan suatu pekerjaan yang tidak seharunya dilakukan oleh anak anak seusianya . Kami sering kali melihat mereka mengamen , mengemis .
Dari kasus itu kami mulai penasaran dan kami mencoba mengamati dari jauh . Kami heran dari pagi siang sampai malam mereka selalu melakukan hal itu , mengamen dan mengemis seperti suatu pekerjaan rutin yang harus mereka lakukan . kami curiga ada paksaan dari pihak tertentu yang memaksa dan menindas mereka
Kami sangat iba dijaman modern seperti ini masih ada anak-anak dibawah umur dengan aktivitas seperti itu . Bahkan di jam jam sekolah pun mereka tetap melakukan hal tersebut . yaa .. pertanyaan kita pasti sama .
“apakah mereka tidak sekolah ??? “
Dari pertanyaan tersebut , kami mencoba membuktikan kebenaranya . Kami menanyakan pertanyaan itu pada beberapa anak anak yang sering mengemis disana . Sebagian besar dari mereka mengatakan .
“ Saya tidak sekolah , gimana mau sekolah lah wong uang untuk makan saja orang tua saya masih galau “
Kami semakin bertanya-tanya , setelah mendengar ungkapan mereka . Walaupun kami juga belum tau bila ungkapan itu hanya rengekan mereka agar kami semua merasa iba atau memang hal itu benar benar mereka rasakan .
Namun apapun alasan mereka mengatakan hal itu . Ketidaksamaan HAM sangat terasa disini . Bukankah dalam UUD 1945 telah dijelaskan tentang hak keadilan dan hak berpendidikan . Dimana peran pemerintah ? dimana keadilan mereka ? mana janji para pemimpin yang menjamin kesejahteraan untuk mereka ?
 Dari kejadian tersebut dapat disimpulkan bahwa peran orang tua sangat dibutuhkan untuk masa depan anak . selain itu pendidikan juga sangat penting untuk kemajuan bangsa Indonesia di masa ini dan dimasa yang akan datang .
Lantas setelah melihat kejadian itu , apakah pantas kita menyia nyiakan waktu sekolah kita ? Bersekolah lah yang rajin teman . buat bangga atas usaha kedua orang tua kita .
Kasus tersebut telah melanggar UUD 1945 pasal 27 ayat 2 yang bunyinya “Tiap-tiap warga Negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. ”. Dan melanggar Pancasila sila ke- 5.

Rabu, 16 Oktober 2013

2 Wajah Ibu



Deru burung besi itu kian nyaring begitu melewati tempatnya berjongkok. Ia menghentikan gerakan tangannya. Menggiring burung itu lenyap dari mata lamurnya. Lalu, tangannya kembali menggumuli cucian pakaian yang tak kunjung habis itu. Beberapa detik sekali, tangan keriputnya berhenti, lalu ia menampari pipi dan kaki. Nyamuk di belantara beton ternyata lebih ganas ketimbang nyamuk-nyamuk rimba yang saban pagi menyetubuhi kulitnya saat menyadap karet nun jauh di pedalaman Sumatera-Selatan sana: Tanah Abang.

Ia menarik napas, melegakan dada ringkihnya yang terasa kian menyempit. Kicauan televisi tetangga menenggelamkan helaan napasnya. Suara musik, iklan, dan segala hal. Perempuan itu kembali menghela napas. Lalu, bangkit dari jongkoknya, menekan tuas sumur pompa. Irama air mengalir dalam ritme yang kacau. Kadang besar, kadang kecil, seiring tenaganya yang timbul-tenggelam. Air keruh memenuhi bak plastik, menindih-nindih pakaian yang bergelut busa deterjen. Bau karet tercium menyengat begitu air itu jatuh seperti terjun.

Ia adalah Mak Inang. Belum genap satu purnama perempuan tua itu terdampar di rimba Jakarta, di antara semak-belukar rumah kontrakan yang berdesak-desakan macam jamur kuping yang mengembang bila musim hujan di kebun karetnya. Hidungnya pun belum akrab dengan bau bacin selokan berair hitam kental yang mengalir di belakang kontrakan berdinding triplek anak lanangnya. Bahkan, Mak Inang masih sering terkaget-kaget bila tikus-tikus got Jakarta yang bertubuh hitam-besar lagi gemuk melebihi kucing betinanya di kampung, tiba-tiba berlarian di depan matanya.
Sesungguhnya, ia pun masih tak percaya bila terjaga dari lelapnya yang tak pernah pulas, kalau akhirnya ia menjejakkan kaki di ibu kota Jakarta yang kerap diceritakan orang-orang di kampungnya. Suatu tempat yang sangat asing, aneh, dan begitu menakjubkan dalam cerita Mak Rifah, Mak Sangkut, dan beberapa perempuan kampung karibnya, lepas perempuan-perempuan itu mengunjungi anak bujang atau pun gadis mereka. Sesuatu yang terdengar seperti surganya dunia. Serba mewah, serba manis, serba tak bisa ia bayangkan.

”Kesinilah, Mak. Tengoklah anak lanangku, cucu bujang Emak. Parasnya rupawan mirip almarhum Ebak,” itulah suara Jamal kepadanya beberapa pekan silam. Suara anak lanangnya yang kemerosok seperti radio tua, ia pun melipat kening saat mengetahui suara itu berasal dari benda aneh di genggamannya.

”Dengan siapa Mak ke situ?” lontarnya. Ada keinginan yang menyeruak seketika di dada Mak Inang. Keinginan yang sejatinya sudah lama terpendam. Telah lama ia ingin melihat Jakarta. Ibu kota yang telah dikunjungi karib-karibnya. Tapi, ia selalu tak punya alasan ke sana, walau anak lanangnya, yang cuma satu-satunya ia miliki selain dua gadisnya yang telah diboyong suami mereka di kampung sebelah, merantau ke kota itu. Belum pernah Jamal menawarinya ke sana. Tak heran, ketika petang itu Jamal memintanya datang, ia lekas-lekas menanggapinya.
”Tanyai Kurti, Mak. Kapan ia balik? Masalah ongkos, Mak pakai duit Emak dululah. Nanti, bila aku sudah gajian, Emak kuongkosi pulang dan kukembalikan ongkos Emak ke sini,” itulah janji anak lanangnya sebelum mengakhiri pembicaraan. Suara kemerosok seperti radio tua itu terputus.
Mak Inang kembali menghela napas saat ingat percakapan lewat hape dengan anak lanangnya itu. Beberapa pekan sebelum ia merasa telah tersesat di rimba Jakarta, di semak-belukar kontrakan yang bergot bau menyengat. Ia melepas tuas pompa, air berhenti mengalir. Tangannya menjangkau cucian, membilasnya.
Kota yang panas. Itulah kesan pertama Mak Inang saat mata lamurnya menggerayangi terminal bus Kampung Rambutan. Sedetik kemudian, ia menambahkan kesan pertamanya itu: Kota bacin dan berbau pesing. Hidung tuanya demikian menderita ketika membaui bau tak sedap itu. Hatinya bertanya-tanya heran melihat Kurti demikian menikmati bau itu. Hidung pesek gadis berkulit sawo matang itu tetap saja mengembang-embang, seolah-olah bau yang membuat perut Mak Inang mual itu tercium melati.
Belum jua hilang rasa penat dan pusing di kepala Mak Inang, apalagi rasa pedas di bokongnya, karena duduk sehari-semalam di bus reot yang berjalan macam keong, beberapa orang telah berebut mengerubungi dirinya dan Kurti, macam lalat, berdengung-dengung. Mak Inang memijit keningnya. Cupingnya pun ikut pening dengan orang-orang yang berbicara tak jelas pada Kurti, gadis itu diam tak menggubris, hanya menyeret Mak Inang pergi.
Mak Inang kembali memeras beberapa popok yang ia cuci, sekaligus. Telapak kaki kanannya yang kapalan cepat-cepat menampari betis kirinya begitu beberapa nyamuk membabi-buta di kulit keringnya. Ia menghempaskan popok yang sudah diperasnya itu ke dalam ember plastik. Jemari tangannya menggaruk-garuk betis kirinya. Bentol-bentol sebesar biji petai berderet-deret di kulit keringnya. Ia menggeram. Hatinya menyumpah-serapah kepada binatang laknat tak tahu diri itu.

Dua-tiga hari pertama, Mak Inang cukup senang berada di rumah berdinding batu setengah triplek Jamal. Rasa senangnya itu bersumber dari cucu bujangnya yang masih merah itu. Walau, sesungguhnya Mak Inang terkaget-kaget saat Kurti mengantarnya ke rumah Jamal. Semua di luar otak tuanya. Dalam benaknya yang mulai ringkih, Jamal berada di rumah-rumah beton yang diceritakan Mak Sangkut, bukan di rumah kecil sepengap ini. Keterkejutannya kian bertambah saat perutnya melilit di subuh buta. Hanya ada satu kakus untuk berderet-deret kontrakan itu. Itu pun baunya sangat memualkan. Hampir saja Mak Inang tak mampu menahannya.
”Mak hendak pulang, Mal. Sudah seminggu, nanti pisang Emak ditebang orang, karet pun sayang tak disadap,” lontar Mak Inang di pagi yang tak bisa ia tahan lagi. Ia benar-benar tak ingin berlama-lama di ibu kota yang sungguh aneh baginya. Sesungguhnya, Mak Inang pun aneh dengan orang-orang yang saban hari, saban minggu, saban bulan, dan saban tahun datang mengadu nasib ke kota ini. Apa yang mereka cari di rimba bernyamuk ganas, berbau bacin, bertikus besar melebihi kucing ini? Mak Inang tak bisa menghabiskan pikiran itu pada sebuah jawaban.

”Akhir bulanlah, Mak. Aku gajian saban akhir bulan, sekarang tengah bulan. Tak bisa. Pabrik juga tengah banyak order, belum bisa aku kawani Mak jalan-jalan mutar Jakarta,” ujar Jamal sembari menyeruput kopi hitam dan mengunyah rebusan singkong. Singkong yang Mak Inang bawa seminggu silam. Mak Inang tak bersuara. Hatinya terasa terperas dengan rasa yang kian membuatnya tak nyaman.

”Kurti libur hari ini, Mak. Katanya tengah tak ada lembur di pabriknya. Nanti kuminta ia mengawani Mak jalan-jalan. Ke mal, ke rumah anak Wak Sangkut dan Wak Rifah,” terdengar suara Mai, menantunya, dari arah dapur yang pengap.

Mak Inang mengukir senyum semringah mendengar itu. Rasa tak nyaman yang menggiring keinginannya untuk pulang mendadak menguap. Kembali cerita Mak Rifah dan Mak Sangkut tentang Jakarta mengelindap. Gegas sekali perempuan tua itu menyalin baju dan menggedor-gedor pintu kontrakan Kurti. Gadis itu membuka pintu dengan mata merah-sembab, muka awut-awutan dengan rambut yang kusut-masai. Mak Inang tak peduli mata mengantuk Kurti, ia menggiring gadis itu untuk lekas mandi dan menemaninya keliling Jakarta, melihat rupa wajah ibu kota yang selama ini hanya ada dalam cerita karib sebaya dan pikirannya saja.

Serupa kali pertama Kurti mengantarnya ke muka kontrakan anak lanangnya, seperti itulah keterkejutan Mak Inang saat menjejakkan kaki di kontrakan anak Mak Sangkut dan Mak Rifah. Tak jauh berupa, tak ada berbeda. Kontrakan anak karib-karibnya itu pun sama-sama pengap dan panas. Hal yang membuat Mak Inang meremangkan kuduknya, gundukan sampah berlalat hijau dengan dengungan keras, bau menyengat, tertumpuk hanya beberapa puluh meter saja. Kepala Mak Inang berdenyut-denyut melihat itu. Lebih-lebih saat menghempaskan pantatnya di lantai semen anaknya Mak Sangkut. Allahurobbi, alangkah banyak cucu Mak Sangkut, menyempal macam rayap. Berteriak, menangis, merengek minta jajan, dan tingkah pola yang membuat Mak Inang hendak mati rasa. Hanya setengah jam Mak Inang dan Kurti di rumah itu, berselang-seling cucunya Mak Sangkut itu menangis.

Kebingungan Mak Inang pada orang-orang yang saban waktu datang ke Jakarta untuk mengadu nasib kian besar saja. Apa hal yang membuat mereka tergoda ke kota bacin lagi pesing ini? Segala apa yang ia lihat satu-dua pekan ini, tak ada yang membuat hatinya mengembang penuh bunga. Lebih elok tinggal di kampung, menggarap huma, membajak sawah, mengalirkan getah-getah karet dari pohonnya, batin Mak Inang.

Selasa, 08 Oktober 2013

Republik Indonesia



Bentuk negara ada dua macam yaitu negara kesatuan dan negara serikat. Bentuk negara kesatuan memiliki ciri - ciri sebagai berikut :
·         Terdapat pemerintah pusat yang memiliki kedaulatan baik ke dalam maupun ke luar.
·         Terdapat satu UUD yang berlaku untuk seluruh wilayah negara.
·         Terdapat satu kepala negara atau pemerintahan.
·         Terdapat satu badan perwakilan rakyat.
  Sedangkan bentuk negara serikat merupakan negara yang terdiri dari beberapa negara bagian dengan satu pemerintah pusat yang memiliki kedaulatan. Namun tiap negara bagian punya kedaulatan ke dalam untuk mengatur wilayahnya masing - masing. Tiap negara bagian punya UUD sendiri,

Rabu, 18 September 2013

Bukan Cerita Biasa

Cinta itu ibarat perang, berawalan dengan mudah namun sulit di akhiri.

Suatu hari, bermula dari pertemuan-pertemuan yang menyenangkan disekolah. Kebiasaan-kebiasaan ramah, saling bertatap wajah. Bercanda gurau habiskan masa-masa sekolah (dari tk, sd, smp, sampe sma) penuh suka, penuh gembira. Hingga akhirnya tercipta sebuah rasa yang dinamakan cinta.

***

Tak terasa masa-masa sekolah akan berakhir didepan mata. Masa muda yang penuh cita siap menantang dunia berupaya mengubah jalan cerita di hidupnya. Kemudian ada cinta yang merangkul rasa menemani ceria yang sebentar lagi akan